SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM (KEJAYAAN PENDIDIKAN ISLAM MASA ABBASIYAH)



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas, tetapi pembina sebenarnya adalah Al-Mansur. Sebagai khalifah yang baru, musuh-musuh ingin menjatuhkannya sebelum ia bertambah kuat, terutama golongan Bani Umaiyah, golongan Khawarij, bahkan juga kaum Syi’ah.
Setelah Al-Mansur meninggal digantikan oleh Al-Mahdi, di masanya perekonomian mulai meningkat. Dan di zaman Harun Ar-Rasyid hidup mewah sebagai yang digambarkan dalam cerita Seribu Satu Malam, sudah memasuki masyarakat. Kekayaannya banyak di gunakan untuk keperluan sosial. Selain itu anaknya Al-Ma’mun mendirikan Bait Al-Hikmah sebagai tempat untuk menterjemahkan buku-buku kebudayaan Yunani. Dan banyak mendirikan sekolah-sekolah. Di masanya Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Dan khalifah terakhir adalah Al-Musta’sim, kemudian Baghdad dihancurkan oleh Hhulagu.


B.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Masa Abbasiyah
Dalam perkembangan pemikiran keilmuan keislaman kita mengenal imam-imam mazhab hukum empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah, yaitu: Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M), dan Imam Syafi’i (767-820 M).[2] Disamping itu para ulama yang mengumpulkan hadits, seperti; al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (241 H/885 M). Pengumpulan enam kitab yang dikenal al Kutub as Sittah yang dipelopori oleh Bukhari (256 H/870 M), Muslim (261 H/875 M), Abu Daud (275 H/888 M), at Tirmidzi (279 H/892 M), an Nasa’i (303 H/915 M), dan Ibnu Majah (273 H/886 M).
Menurut Hasan Abd. Ali, lembaga-lembaga pendidikan pada periode ini selain keluarga adalah masjid dan kuttaab, istana khalifah, rumah-rumah para pangeran, menteri, dan ulama, kedai-kedai, saudagar buku, salon-salon kesustraan, ribat, rumah sakit, al-Bimaristan, observatorium dan tempat-tempat experiment ilmiah serta Daar al-Hikmah, Bait al-Hikmah, dan Daar al-Ilmi ataupun Daar al-Kutub.[3] Pendapat Zuhairini hampir sama dengan pendapat diatas, Zuhairini mengelompokkan lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Kuttaab, pendidikan rendah di Istana, toko-toko buku, rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan), badi’ah, rumah sakit, perpustakaan, dan masjid, sebagai lembaga pendidikan Islam yang bercorak nonformal.[4] Sedangkan lembaga pendidikan formalnya adalah madrasah.
Menurut Ibnu al Nadhim, Bait al Hikmah dibangun pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan dilanjutkan pada masa khalifah al Amin untuk kemudian direnovasi kembali oleh khalifah al Ma’mun pada tahun 217 H/832 M dengan biaya sebesar satu juta dolar.[5] Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi.
Perhatian yang tinggi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dengan taraf yang belum pernah dicapai sebelumnya, itulah yang dilakukan Harun ar-Rasyid pada saat menjadi khalifah dengan membangun lembaga pendidikan dan menunjuk rumah-rumah sebagai tempat belajar begitu pula dengan masjid.
Harun ar-rasyid juga memanfaatkan kekayaannya yang banyak untuk kemanfaatan sosial. Ia pula yang menjadikan kota baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia, memberikan gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan.
Disamping itu ia juga memberikan penghargaan yang sangat tinggi pada karya-karya tulis dengan memberikan imbalan yang mahal. Ia tidak menyia-nyiakan rakyat yang berbuat baik, tidak melambatkan pembayaran upah dan ia sangat pemurah dan seorang yang gemar beribadah.

1.    Faktor kemajuan Daulah Bani Abbasiyah
a.     Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
b.    Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun ar-Rasyid. Pada fase yang banyak di terjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua mulai pada masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin luas.
2.    Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan yang digunakan pada masa pemerintahan Abbasiyah dapat dibagi menjadi dua, yaitu kurikulum pada pendidikan rendah dan kurikulum pendidikan tinggi.
a.    Kurikulum pada pendidikan rendah bervariasi tidak terlepas dari faktor sosiologis, politis, dan ekonomi umat muslim yang melingkupinya. Sehingga tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis al-qur’an, kadang diajarkan bahasa nahwu dan arudh. Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan, cara bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan pokok, seperti al-qur’an, syair, dan bahasa.
b.    Kurikulum pendidikan tinggi, bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Sehingga mahasiswa bebas mengikuti halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari kota ke kota yang lain. Mata pelajaran pada pendidikan tingkat ini meliputi ilmu fiqh, nahwu, kalam, kitabah, al-arudh, matematika, astronomi, aritmatika, geometri, psikologi, kesusteraan, kedokteran, dan lain-lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama.[6]


3.    Tenaga Pendidik/Guru
Pada masa Abbasiyah ilmu menjadi sesuatu yang penting, sehingga masyarakat banyak antusias dalam menuntut ilmu kepada guru-guru yang dianggap tsiqah (terpercaya) dan memiliki keluasan ilmu yang tidak diragukan. Menurut Al-Jahiz dalam Ziauddin Alavi, guru dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan, yaitu :
a.    Guru-guru yang mengajar sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab (guru sekolah anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan dihargai seperti: Al-Hajaja, Al-Kumait, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah dan lain-lain.
b.    Para guru yang mengajar para putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak mulia, dan dikenal masyarakat.
c.    Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat.[7] Hal ini disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begitu mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru dari golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
4.    Materi Pendidikan
Materi pendidikan pada masa Daulah Bani Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Daulah Bani Umayyah, dapat dibagi menjadi materi pelajaran yang bersifat wajib yang didapat pada pendidikan dasar dan materi pelajaran yang bersifat pilihan yang didapat pada pendidikan tinggi.
a.    Materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbaari), yaitu:
1)   Al-Qur’an
2)   Pokok-pokok agama Islam seperti: wudhu, shalat dan shaum
3)   Sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab (maksudnya yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa Arab belum secara tuntas dan detail)
4)   Membaca dan menulis
b.    Materi pelajaran yang bersifat pilihan (ikhtiari), yaitu:
1)    Fiqih, tafsir, hadits
2)    Ilmu-ilmu pasti
3)    Ilmu-ilmu alam
4)    Semua ilmu nahwu dan sharaf
5)    Syair-syair
6)    Riwayat (tarikh) Arab
7)    Khat atau tulisan indah.[8]
5.    Metode Pengajaran
Pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Daulah Bani Umayyah, metode pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Metode lisan
Metode lisan dapat berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla ini peserta didik mempunyai catatan yang akan membantunya ketika ia lupa. Ceramah (al-sama’) adalah guru menjelaskan isi suatu buku dengan hafalan, sedangkan peserta didik mendengarkannya. Qira’ah biasanya metode ini digunakan untuk belajar membaca. Diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
b.    Metode menghafal
Metode menghafal merupakan ciri khas pendidikan pada masa daulah Abbasiyah. Peserta didik-peserta didik harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya hingga pelajaran tersebut dihafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya, peserta didik harus mengkontekstualisasikan pelajaran yang telah dihafalnya.
c.    Metode tulisan
Metode tulisan dapat dikatakan sebagai pengkopian buku-buku ulama. Dalam pengkopian terjadi proses intektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu peserta didik semakin tinggi, karena dalam pengkopian tidak semata-mata menulis saja dan melakukan telaah terhadap buku tersebut. Metode tulisan ini juga menguntungkan dalam penggandaan buku, karena pada masa itu belum ada mesin cetak seperti saat ini, sehingga kebutuhan akan teks buku sedikit teratasi.[9]
C.     Bangunan-bangunan Pendidikan yang terdapat pada Masa Abbasiyah
1.      Kuttab
Tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
2.      Majlis Muhadharah
Tempat pertemuan para ulama, sarjana, ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
3.      Darul Hikmah atau Bait Al-Hikmah
Perpustakaan besar, dan tempat penterjemah buku-buku Yunani.
4.      Madrasah, sekolah-sekolah, masjid, rumah sakit, farmasi,pemandian umum.[10]

D.    Tokoh-tokoh atau Ilmuwan Zaman Abbasiyah
1.      Bidang Astronomi
Al-Farazi, astronomi islam yang pertama kali menyusun astrolobe.
2.      Bidang Kedokteran
Ibnu Sina (Avicenna), bukunya yang fenomenal Al-Qanun Fi Al-tiib, berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia.
3.      Bidang filsafat antara lain tercatat:  Al-Farabi, banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles.[11]
4.      Bidang Optika
Abu Ali Al-Hasan Al-Baythani (Al-Hazen), terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihatnya.
5.      Bidang Kimia
Jabir ibn Hayyan.
6.      Bidang Matematika
Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi, dan masih banyak lagi lainnya.
7.      Bidang ilmu tasawuf terdapat Rabi’ah Al- Adawiyah, Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Hasan al-Bashri, dan Abu Yazid Al-Bustami.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dinamakan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas atau sering disebut sebagai Abu Abbas, tetapi pembina sebenarnya adalah Al-Mansur.
Masa bani Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam sehingga banyak ilmu pengetahuan dan ilmu pendidikan berkembang sangat pesat. Misalnya dalam ilmu pendidikan sudah diterapkan beberapa metode mengajar, kurikulum mengajar, materi pelajaran, guru mengajar dan lain-lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, diisi dengan kehadiran para 4 imam madzhab, al kutub as sittah, dan berbagai wujud materi, metode, serta kurikulum.
Selain itu ada juga banyak dibangun beberapa bangunan untuk kegiatan belajar mengajar seperti khuttab, madraah muhadharah, Darul Hikmah, masjid-masjid, sekolah-sekolah, rumah sakit, pemandian umum, dan sebagainya, karena sudah banyak munculnya ilmuwan Islam sebagai pengajar yang ahli di berbagai bidang pendidikan.
Masa Abbasiyah melahirkan beberapa ilmuwan yang mendunia bersama karya-karya fenomenal mereka dalam berbagai bidang.
B.     Saran
Dengan kita mengkaji materi tentang kejayaan pendidikan Islam masa Abbasiyah, haruslah kita mempelajari beberapa hal yang menjadi faktor penyebab kejayaannya sehingga kelak dapat diterapkan dalam sistem pembelajaran masa kini.

















DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
M. M. Fahruddin. Pusat Peradaban Islam Abad Pertengahan: Kasus Bayt al Hikmah. El-Harakah, Vol. 11, No. 3. 2008.
Nasution. Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 1991.
Nata, Abuddin, Sejarah Pemdidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2004.
Suwito & Fauzan (Eds.). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.











[1] Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, 100. 
[2]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Surabaya: Logos Wacana Ilmu, 1997, 102.
[3]Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ..., 15. 
[4]Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ..., 100.
[5]M. Mukhlis Fahruddin, Pusat Peradaban Islam Abad Pertengahan: Kasus Bayt al Hikmah. El-Harakah, Vol. 11, No. 3., 2009, 191.  
[6] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 58.
[7] Abudin Nata, Sejarah Pemdidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004. 141.
[8] Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ..., 15. 
[9]Suwito & Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, ..., 14.
[10]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. 1992. 99.
[11]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers. 2010. 4.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Peradaban Islam (Makalah) Masa Rasulullah Saw.

Abstrak Sejarah Pendidikan Islam

Resume Buku : Guru Berkarakter Guru Profesional Masa Depan - Cucu Suryanto