Fatimah Azzahra - ‘My Lovely Friend’



Fatimah Azzahra - ‘My Lovely Friend’
Aku melihat jam tangan berwarna perak yang melingkar ditangan kiriku. Nafasku memburu karena tiga puluh detik yang lalu aku menaiki ribuan anak tangga, hanya agar aku dapat sampai tepat waktu ditempat ini.
Aku mengetuk pintu berwarna putih bertuliskan angka dan dibawahnya tertulis jenis ruangan yang membuat kamar ini berbeda dengan kamar lain. Ciri khas rumah sakit.
Seorang suster membuka pintu dengan perlahan.
Tatapannya datar.
“Fatimah, temannya pasien?” Tanya suster itu lagi.
“I..iya.”
“Pasien dan keluarganya sudah menunggu Anda. Silahkan masuk.” Suster itu membuka lebar daun pintu dan mempersilahkan aku masuk.
Kakiku melangkah kedalam ruangan. Semenjak langkah pertama, semerbak aroma rumah sakit semakin kuat. Beberapa orang berbaju putih mengelilingi ranjang dengan seseorang terbaring diatasnya. Mereka semua langsung menatap kearahku.
“Khaeny?” Tanyaku.
“Fat.. Fatimah.” Seru seseorang memanggil namaku dengan lirih.
Aku menghampirinya. Mataku menyusuri seluruh tubuh Khaeny. Dan semua benda aneh yang menutupinya.
“Kau menyuruhku datang kemari. Untuk melihatmu melepas semuanya?”
Khaeny mengangguk.
“Tapi...”
“Aku akan baik-baik saja. Aku sudah merelakannya.”
“Dokter, saya sudah siap.” Seru Khaeny dengan senyum yakin.
Perlahan para dokter melepas satu persatu alat bantu medis. Selang aku menyebutnya dengan jarum kecil dibagian ujung, juga ikut dilepas. Segera, perempuan itu mencoba bangkit. Suster membantunya dengan menambah bantal dibelakang punggungnya sebagai sandaran.
“Terimakasih, Suster.” Sambutnya dengan senyuman hangat.
“Bagaimana rasanya? Sakitkah?” Kalimat itu meluncur dari mulutku. Aku berdiri cukup dekat dari tempatnya berada.
“Terimakasih, Fatimah.” Perempuan itu merentangkan kedua tangannya, merangkulku untuk terakhir kalinya.
“Bertahanlah. Kau pasti bisa.” Sambutku dalam pelukannya.
Khaeny, melepas pelukan. Ia tersenyum dibalik wajah pucatnya.
“Aku sudah lama bertahan.” Ujarnya.
“Kau bahagia?”
Khaeny mengangguk yakin.
“Setelah ini semua berakhir. Kau yang akan menjaganya. Kau akan berada disampingnya. Kau akan menjadi bahunya saat ia butuh sandaran. Kau akan hidup bahagia bersamanya. Selamanya.”
“Setelah semua berakhir? Khaeny. Aku menyiapkan semuanya. Aku bertengkar dengan orang tuaku, aku kabur dari duniaku, aku mendaftar ketempat yang bahkan namanya pun aku tak suka, semuanya kulakukan untuk ini semua. Dan kau ingin pergi. Tidak, kau tidak boleh pergi. Aku.. akan .. selalu.. ada.. untukmu. Begitu juga denganmu, kau harus disampingku. Kau harus bertahan.” Ucapku dengan nada tegas.
Khaeny, merangkul kedua tanganku. Dingin, itulah rasanya.
“Seperti saat para dokter melepas semuanya. Aku akan melepas hidupku. Aku rela. Aku ikhlas. Aku akan menerima takdirku.”
Aku menepis tangan Khaeny.
“Kau menyerah.”
Aku bangkit dari tempatku duduk. Menatap mata sayu itu dengan penuh kemarahan.
“Kau pengecut.” Seruku lebih keras.
“Untuk saat ini, kau mungkin masih bingung. Ah, aku tahu. Kau masih lelah. Perjalanan dari Jepang cukup melelahkan. Maaf memaksamu kemari. Aku hanya ingin berdua denganmu disaat terakhirku. Aku ingin bahagia walau disaat terakhirku.” Terangnya.
“Omong kosong.”
Khaeny menyeringaikan kembali senyumnya.
“Khaeny, apa kau tersenyum? Kau akan mati, dan kau malah tersenyum!! Sejak awal kau salah masuk rumah sakit. Harusnya kau masuk rumah sakit jiwa, kau tahu itu ‘kan? Bukan para dokter seperti mereka yang mengurusmu!!”
Pada akhirnya, air mataku pun turun. Membasahi pipiku.
“Kau menangis? Ini bukan kau.” Khaeny melihatku dan mengusap pipiku yang basah dengan tangannya.
“Tapi.. kau akan mati, Khaeny. Kita takkan bersama lagi.”
“Banyak orang mengatakan, mati itu adalah saat dimana seseorang akan beristirahat. Beristirahat dari tugas-tugas kampusnya, beristirahat dari semua proyek desainnya, beristirahat dari pertengkaran konyol dengan sahabatnya, dan beristirahat dari hidupnya. Semua orang akan mati, Fat.” Terang Khaeny.
Please, Khaeny. Hentikan semua ini. Kau akan sembuh. Para ilmuwan diluar sana dengan otak jeniusnya sedang mencari obat untuk penyakit seperti yang kau miliki. Mereka akan menyembuhkan penyakitmu. Dan aku pun juga, aku akan melanjutkan studiku. Aku akan menemukan obat untukmu. Jika perlu, aku akan menggali tanah sampai kedalam perut bumi. Sekalipun harus menyelam kedalam palung laut paling dalam. Akan kulakukan semua untukmu. Jadi, please.. bertahanlah.”
“Fatimah.. Kau..mau menjaganya‘kan?” Rintih Khaeny menahan sakitnya.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Tanyaku singkat.
“Kau tetap akan melakukannya, hehe.” Khaeny menyeringai lagi.
Nafas Khaeny tersengal.
“Tuntun aku...” Pinta Khaeny dengan nada terbata.
Aku mengangguk. Khaeny mengikuti ucapanku dengan terbata.
Aku mengelus pucuk kepalanya dengan lembut.
Aku menarik nafasku dengan berat.
Dan mata sayup itu tertutup perlahan. Aku mengecup keningnya sekali lagi. Untuk terakhir kalinya. Memandang wajahnya yang putih bersih.
Para dokter memeriksanya. Memastikan adanya denyut nadi, detak jantung, hembusan nafas, ataupun tanda-tanda kehidupan lainnya.
Seisi ruangan penuh sesak dengan keluarga Khaeny, mereka menangis kepergiannya. Takkan lagi mereka bisa menemui seorang seperti Khaeny. Perempuan dengan milyaran cita-cita, imajinasi yang membumbung tinggi, canda humornya, dan semua kebahagiaan yang ia tularkan kepada semua orang. Termasuk aku.
“Begitu banyak yang mencintaimu, Khaeny.”
Salah seorang diantara mereka menghampiriku. Mencoba membuatku lebih baik.
“Kami turut berduka. Khaeny adalah satu diantara pasienku yang paling tegar. Semangatnya benar-benar tinggi. Dia tak pernah merasakan sakitnya. Dan dengan kemampuan dan tekat ambisiusmu, kau pasti bisa. Kau harus mewujudkan apa yang baru saja kau ucapkan di hadapan temanmu. Itu janji seorang dokter.” Dokter itu berlalu dari hadapanku.
Aku melangkah keluar ruangan. Menelurusi koridor rumah sakit, melihat lalu lalang orang-orang. Kakiku berhenti tepat disamping jendela. Gemuruh hujan baru saja dimulai. Aku memandang keluar, pasti Tuhan pun tak menjatuhkan hujan begitu saja. Tuhan ingin agar buminya basah, bunga-bunganya tumbuh dengan cantik, manusia dan semuanya agar hidup bahagia.
“Ah, dokter. Masihkah aku perlu memikirkan hal seperti itu? Janji seorang dokter? Siapa yang berjanji? Siapa yang akan menjadi dokter? Aku?” Dadaku sudah penuh sesak dengan semua emosi ini.
“Oke, Khaeny. My lovely Friend. Kau bahagia sekarang? Pastinya. Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Dan aku akan hidup seperti diriku sendiri. Tidak ada yang lebih indah selain menjadi diri sendiri. Hidup sebagai Fatimah Azzahra.”

-To Be Continued-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Peradaban Islam (Makalah) Masa Rasulullah Saw.

Abstrak Sejarah Pendidikan Islam

Resume Buku : Guru Berkarakter Guru Profesional Masa Depan - Cucu Suryanto