Pelangi di Malam Hari ( Novel Fiksi ) Sub judul Taman Bunga
-
Taman Bunga -
Aku menatap sendu seorang wanita dihadapanku. Terduduk lemas
dibawah guyuran hujan. Tubuhnya dibiarkannya basah. Tak khawatir akan dinginnya
air hujan yang menusuk kulitnya yang putih mulus. Sesekali kulihat pundak yang
tertutup blazer kecoklatan itu naik turun, ia terisak dan ia menangis.
“Kakak.. hiks hiks hiks.. Kakak” serunya pelan.
Aku mendekatkan payungku padanya. Aku memayunginya. Aku tak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Setelah saudara satu –
satunya pergi ke sisi Tuhan menyusul kedua orangtuanya.
Aku mengelus pundaknya mencoba memberikannya ketenangan.
“Ahma.” Rintihnya memanggil namaku
“Ya.”
“Aku harus bagaimana? Aku sendirian. Aku ditinggal sendirian.”
Sambungnya
Hati ku bergetar mendengar ucapannya.
“Aren. Kau tenang saja. Disini ‘kan ada aku, Kak Joy, Kak Alya, dan
teman – teman yang lain. Kami siap menemanimu dan membantumu.” Seruku
Ucapanku kurang memuaskan ditelinganya. Ia menunduk.
Aku tahu apa yang di pikirkan Aren. Yang ia butuhkan adalah sebuah
keluarga, sebuah rumah, dan seseorang yang bersedia membiayai hidupnya.
Aku ? Aku tidak bisa melakukannya. Ayah Ibuku sudah menutup hati
mereka rapat – rapat untuk wanita ini.
“Kak Aren. Kita pulang yuk.” Ajakku
“Pulang kemana. Aku tidak punya rumah, Ahma.” Sahutnya
“Kita kerumah Kak Alya yuk.” Aren menatapku lagi.
“Itu tidak mungkin. Aku sudah kehabisan malu untuk kesana. Aku
capek jika mendengar cacian dan makiannya.” Sahut Aren
“Ah, kerumah Kak Joy saja.”
“Tidak. Ia sudah tidak mau menerimaku lagi. Lagi pula ia sudah
pindah ke Bandung bersama Ayahnya yang cacat itu.”
“Ahma.” Panggilnya
“Ya”
“Kalau aku kerumahmu bagaimana? Aku akan pergi kalau sudah
mendapatkan rumah sewaan. Aku janji Ahma, aku janji.” Serunya
“Kak Aren, Ayah dan Ibu sudah tidak bisa dibujuk lagi. Aku takut
mereka akan marah juga padaku. Maaf, kak.”
“Ahma. Jika aku mati apakah Tuhan akan menerimaku juga?” serunya
“Istighfar, kak. Jangan bicara seperti itu. Aku tahu apa yang kakak
sekarang rasakan. Pasti ada jalan keluarnya. Ini cobaan kak.”
“LALU AKU HARUS BAGAIMANA!! SEMUA ORANG MEMBENCIKU. SEMUANYA TIDAK
MAU MENERIMAKU. AKU HARUS BAGAIMANA!!!! ARGHHHH!!!” pekiknya
“Kak Aren.” Lirihku pelan
Dreetttt.
Ponselku bergetar. Ada pesan masuk.
Aku membukannya.
Senyum ku mengembang seketika membaca pesan yang baru kuterima.
“Demi Allah, Kak Aren.” Seruku sambil memeluk tubuh basahnya
Aren menatapku bingung.
“Ayo, ikut aku. Kita pergi kerumah baru kakak. Ayo!” Aku menarik
tangan Aren.
Sebuah angkot mengantarkan kami dan berhenti didepan sebuah
bangunan tinggi berarsitektur biasa namun tetap terlihat nyaman dipandang.
Sedari tadi Aren terus bertanya padaku. Mau dibawa kemana dia?
“Ayo turun.” Aku membayar ongkos dan turun terlebih dulu
“Sudah sampai ?”
Aku tersenyum menjawab pertanyaan Aren.
Aren mendongak.
Ia sedang membaca sebuah tulisan pada gerbang yang ada
dihadapannya.
“PONPES PUTRI AZ-ZAHRA”
Ia memandangku heran.
Ia seperti mulai menangkap apa maksudku.
“Sudah. Kita masuk dulu. Ayo.” Aku menarik lengannya dan berjalan
masuk
Kami disambut sebuah taman kecil dengan bunga – bunga yang merekah
indah dan menyeruakkan wangi khasnya.
“Setelah terkena hujan bunga – bunganya jadi mekar semua.” Seruku
“Iya. Baru kali ini aku melihat bunga – bunga secantik itu. Wow.”
Seru Aren
“Hei, subhanallah. Gitu bunyinya, bukan Wow.” Seruku
“Ng? Subhanallah, cantik sekali bunga – bunga itu.” Aren meralat
kata – katanya dan tersenyum padaku
“Nah, gitu ‘kan enak dengernya. Kita ketemu sama seseorang dulu
yuk.”
Aren masih terkesima dengan taman bunga yang mengalihkan
pandangannya.
Kami melewati beberapa santri – santri yang sedang duduk – duduk di
bangku depan kelas mereka.
Aku tersenyum menyapa mereka.
“Nak Ahma!” Seru seseorang memanggil namaku. Aku berbalik.
“Ustadzah Wiwin.” Sahutku setelah melihat seorang wanita paruh baya
lengkap dengan busana muslimnya yang terlihat sangat anggun.
Kami menghampiri wanita itu.
“Maaf kami terlambat. Jalanan macet.” Aku meraih tangan kanannya
dan mencium tangannya. Aren mengikuti tindakanku.
Ustadzah Wiwin membelai lembut rambut basah Aren.
“Habis hujan – hujanan ya?” tanya Ustadzah
Aren tersipu malu.
“Kenalin ini namanya Ustadzah Wiwin. Ustadzah Wiwin ini yang
namanya Aren. Dia ingin belajar agama disini. Boleh ‘kan?”
“Nama saya Syarena Lubis, biasa dipanggil Aren.” Seru Aren
“Ya. Anton juga sudah cerita kok. Ngobrol – ngobrolnya disambung
nanti ya. Kamu ganti baju dulu. Nanti masuk angin. Ahma, kamu masih punya baju
disini ‘kan?”
“Masih Ustadzah.”
“Ya sudah. Nak Aren ganti baju dulu ya. Ustadzah tunggu di ruangan
ya.”
Ustadzah pergi meninggalkan kami. Aku berbalik mengantarkan Aren.
“Berapa umurnya?” tanya Aren sambil berjalan disampingku
“Em, kira – kira 50 an. Kenapa.?” Sahutku
“GILA!” Pekik Aren
Aku tercekat kaget.
“Eh, hehe keceplosan.” Desah Aren
Aku menghela nafasku pelan dan mulai berjalan lagi.
“Disini itu harus jaga sikap, omongan, tata krama, etika, dan sopan
santun.” Seruku.
“Memangnya kenapa? Dimarahin ya?”
“Dimarahin sih enggak. Paling – paling diketawain sama santri –
santri disini. Kakak tadi sudah lihat ‘kan, santri – santri disini masih muda
semua. Gak malu diketawain anak kecil.” Sindirku
Kami sampai disebuah kamar. Kamar yang sering kugunakan tiap sabtu
minggu atau ketika libur sekolah.
“Kamarmu?” tanya Aren
Aku mengangguk.
Aku membuka lemari dan mengeluarkan baju gamis putih dan jilbabnya.
“Pakai ini aja.” Seruku
Aren menatapku.
“Kenapa? Mau yang lain.” Aku mengambil gamis lagi dari dalam
lemari.
Aren menatapku lagi.
“Aku cuman punya itu. Itu sudah yang paling modis.” Seruku
Aren mengangkat gamis putih berbordir di pinggang dan ujung
lengannya.
Aren menatapku lagi.
“Kalau gak mau pakai punyaku. Aku bisa pinjemin punyanya Ustdazah
Wiwin. Yang jauh lebih tua modelnya, mau?”
Aren menggelengkan kepalanya dan beranjak masuk kekamar mandi.
Drrrtttt... ponselku bergetar.
“Assalamu’alaikum.” Seruku sembari menempelkan ponselku ketelingaku
“Sudah. Kami sudah sampai. Sudah ketemu sama Ustadzah Wiwin juga.
Iya. Sekarang dia lagi ganti baju. Iya. Makasih ya Kak sudah bantuin aku. Tadi
kalau Kakak Anton gak SMS, aku gak tahu harus gimana. Iya. Kapan pulang, kak.?
Besok.? Ah, gak. Gak kenapa – kenapa kok. Salam buat Ayah dan Ibu kak Anton ya.
Iya. Wa’alaikumsalam.” Aku menutup telfon
Aren keluar dari kamar mandi.
“Cantiknya.” Pujiku
“Ini kebesaran Ahma.” Serunya sambil merentangkan gamis yang ia
pakai
“Bukan, Kak. Ini modelnya begitu. Beda sama model baju yang kakak
pakai tadi. Yang ini sesuai dengan syariat.”
“Apaan tuh, syariat?”
“Sudahlah. Nanti juga tahu. Sekarang pakai jilbabnya. Terus kita
ketemu lagi sama Ustadzah Wiwin.” Aku memakaikan jilbab Aren dan pergi menemui
Ustadzah.
“Nak Aren, mau tinggal disini?.” Tanya Ustadzah Wiwin
Aren diam. Ia terlihat sedang berfikir.
“Kak Aren?.” Panggilku
“Tapi saya sudah lupa menjadi seorang muslim. Saya sudah banyak
dosa.” Seru Aren ragu
“Seperti apapun latar belakang Nak Aren, siapapun Nak Aren
dimasalalu yang terpenting Nak Aren mau berubah.” Seru Ustadzah Wiwin lagi
Mata Aren terlihat nanar dan berair. Dan air mata itu tumpah
seketika.
“Saya mau, Ustadzah. Saya mau berubah. Saya mau berbuat baik di
sisa hidup saya.”
“Alhamdulillah.” Seruku dan Ustadzah bersamaan
Aku melambai pelan kepada Aren dan Ustadzah Wiwin.
Aku berdoa, “Ya Allah, aku mengajaknya kesebuah jalan yang benar.
Jagalah ia dan bantulah ia.”
Komentar
Posting Komentar