Kebakaran Hutan dalam Perspektif Islam (Opini)
Kebakaran Hutan dalam Perspektif Islam
Hutan sebagai salah satu bagian dari
lingkungan hidup merupakan karunia Allah Swt. dan merupakan salah satu kekayaan
alam yang sangat penting bagi umat manusia. Banyaknya manfaat yang didapat dari
keberadaan hutan di bumi ini. Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai
khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan
menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah Swt. untuk
mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan
penciptaannya.[1]
Namun, beberapa waktu belakangan ini
Indonesia disibukkan dengan pemberitaan mengenai upaya pemadaman yang dilakukan
pihak setempat di berbagai daerah di Indonesia akibat adanya kebakaran hutan. Hutan
di Indonesia mengalami kerusakan terus-menerus, kebakaran hutan menjadi musibah
rutin. Apabila hal ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin di Indonesia dalam
beberapa tahun kedepan akan kehilangan hutannya. Bukan hanya itu saja,
keberadaan seluruh penghuni hutan baik flora maupun fauna akan terancam kelestariannya
akibat hilangnya hutan sebagai habitat asli mereka. Selain itu, akibat
hilangnya hutan maka akan menimbulkan berbagai bencana lain yang datang secara bertubi-tubi
pada saat musim kemarau ataupun ketika musim hujan tiba. Seperti halnya tanah
longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman pertanian yang rusak
karena diserang hama, dan semuanya adalah karena ulah manusia sendiri. Dampak
lainnya yaitu seperti kabut asap yang ditimbulkan akibat terjadinya kebakaran
hutan dan mengganggu aktivitas masyarakat serta berdampak pula terhadap
kesehatan masyarakat. Jika hal seperti ini terus terjadi akibat jangka panjang
lainnya yang ditimbulkan adalah generasi berikutnya tidak akan bisa menikmati
kekayaan alam yang ada karena ketamakan dan keserakahan yang terjadi saat ini.
Dalam padangan Islam dikenal tiga macam bentuk
pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan
lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk
dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah
melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun
berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari
pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya'
boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam
Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau
menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah
memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah
lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka
waktu tertentu.
Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini
pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang
difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk
tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah
pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi
milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan
pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Menurut Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam Fiqh
Al-Bi'ah (pemahaman masalah lingkungan hidup) yaitu:
Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup
dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur
salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut
terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup
adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya
adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara
penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan
kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah
diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup,
bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.[2]
Didalam Islam, tidak dijelaskan
secara eksplisit dan terperinci berbagai hal tentang kebakaran hutan. Namun,
secara umum hukum Islam telah mengatur tentang pelarangan tindakan pengrusakan
hutan dan tindakan pengrusakan lingkungan. Islam mengatur pengelolaan hidup,
meliputi berbagai aspek, yakni pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut
bidang kehutanan, pemeliharaan, larangan dan ancaman-ancaman dalam pengrusakan
hutan termasuk didalamnya tentang pengrusakan hutan. Untuk saat ini, kebakaran
hutan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor manusia yang tidak
bertanggung jawab untuk membuka lahan pertanian dan mengambil keuntungan untuk
dirinya saja.
Fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa
Islamic Council on Natural Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV
Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap (Edicts of Indonesia
Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar dan
Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining (Edict
on Illegal Logging and Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan
dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan,
pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap,
kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram. Keputusan
ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim kemarau
untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi
gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir;
bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap yang mengganggu
transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan
mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah Kalimantan bahkan
kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi
kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum
membakar hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar
kabut asap yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman
bagi masyarakat.
Penegak hukum sebagai garda depan dalam menjaga
keamanan Negara seharusnya dapat menjalankan kinerjanya dengan baik. Menerapkan
sangsi yang berat terhadap semua pihak yang terlibat sekiranya akan membuat
para pelaku jera dan tindak-tanduk para pengusaha tersebut dapat dibatasi agar
tidak kelewatan batas. Meskipun latar belakang hutan di Indonesia yang didominasi
oleh lahan gambut dan rentan akan timbulnya percikan api namun sebenarnya sebagian
besar dari penyebab kebakaran hutan di Indonesia saat ini adalah karena human
error.
Menurut Asma Nadia, seorang penulis, melalui
tulisannya yang berjudul “Tanggung Jawab Kebakaran Hutan” yang dimuat dalam
kolom opini Republika.co.id bahwa sekalipun
sering dianggap berlangsung alamiah, sebenarnya kebakaran ini pun diawali
ulah manusia (baca: pengusaha). Kebakaran karena human error – sebetulnya
lebih tepat ketamakan dan kelalaian manusia – biasanya disebabkan pembakaran
hutan secara sengaja untuk penghematan biaya, atau yang diakibatkan puntung
rokok. Terlepas dari asal penyebabnya,
penting sekali bagi Pemerintah untuk memberlakukan sangsi, mulai dari denda
hingga tindakan lebih berat lagi agar para pengusaha dan para pelaku pembakaran
hutan tidak semata mengambil keuntungan namun juga bertanggung jawab.
Agama Islam sendiri
sudah menjelaskan bahwa bersikap serakah dan tamak merupakan perilaku tercela
yang dibenci oleh Allah Swt. Seandainya saja para pelaku pengrusakan hutan
terutama pelaku kebakaran paham tentang hal ini tentunya tidak ada lagi kabut
asap dan gangguan lain akibat musibah tersebut.
Maulana Unan dalam kajian skripsinya yang berjudul
“Tindak Pidana Kebakaran Hutan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Perspektif Hukum Islam” mengemukakan mengenai masalah pembakaran
hutan (pengrusakan lingkungan) bahwa dalam hukum Islam harus terus digali dan
dikembangkan keberadaannya. Karena agama, terutama agama Islam memiliki peran
penting dalam menuntun perilaku masyarakat. Dengan ajaran-ajaran yang yang
diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life diharapkan dapat mencegah
pengrusakan lingkungan hidup khususnya bidang kehutanan.
Menurut saya sendiri, tanggung jawab menjaga
kelestarian alam adalah bagian penting yang harus diterapkan dalam ranah
pendidikan. Karena para pelaku pembakaran hutan saat ini adalah mereka yang
tidak mengerti atau bahkan tidak tahu apapun mengenai arti tanggung jawab
menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, Islam juga telah mengajarkan kepada
umat-Nya untuk selalu berbuat baik kepada semua makhluk ciptaan Allah terutama
lingkungan yang ia jadikan tempat tinggalnya.
Komentar
Posting Komentar