Fatimah Azahra
Fatimah Azahra
Assalamu’alaikum.
Kenalkan, namaku Fatimah
Azahra. 25 tahun yang lalu lahir di jantung Indonesia, Jakarta. Aku seorang
guru Sekolah Dasar. Aku ingin menceritakan sebuah cerita. Ini cerita hidupku
selama aku merantau di negeri orang. Dengan tujuan menuntut ilmu dan sekedar
mendapat pengalaman. Pengalaman dalam merasakan haru birunya perjuangan hidup. Aku
adalah satu dari sekian juta orang yang beruntung karena dapat berada di negara
ini. Sebuah negara yang terkenal dengan aroma wangi pendidikannya terutama
pendidikan Islam. Negara yang berkembang perekonomiannya dan juga
pemerintahannya sama seperti Indonesia. Beratus-ratus tahun yang lalu ia menjadi
saksi bisu dimana Islam berkembang dan menyebar seperti sekarang. Saksi bisu
ketika Nabi Musa as. melawan kekuasaan Raja Fir’aun dan cerita tentang
bagaimana terbelahnya Laut Merah kala itu.
Menuntut ilmu kurang
lebih 4 tahun sudah aku jalani. Bersama orang-orang Indonesia lain, berusaha dan
berjuang agar dapat meraih apa yang kuinginkan. Meskipun dari apa yang kita
rencanakan adakalanya Allah Sang Maha Berkehendak merencakan jalan yang lain.
Tentulah sebagai hamba-Nya kita harus menerima dan menjalani apa yang telah Dia
rencanakan.
Semua bermula ketika
aku bertemu dengan seorang anak tunawisma itu, 4 tahun yang lalu. Waktu itu aku
baru selesai menunaikan sholat di masjid dekat rumahku. Aku melihat seorang
anak sedang berjalan seorang diri. Tidak biasanya ada anak tunawisma
berkeliaran di tempat ini. Tangan kanannya membawa sebuah besi panjang dengan
pengait diujungnya dan sebuah karung yang ia seret begitu saja. Tangan kirinya
meremas baju yang lusuh. Wajahnya lesu. Dia mungkin lapar, batinku. Sisi
kemuliaan dari hatiku timbul.
“Dek.” Sapaku hangat padanya
Kudekati anak itu. Matanya
sendu. Jelas sekali terasa akan apa yang sedang ia rasakan. Aku lekas merogoh
isi tas. Mengeluarkan sebungkus roti dan sebuah susu kotak. Bekal makan
siangku. Dengan memberi isyarat padanya, ia langsung menerimanya dan membuka
bungkusnya dengan segera lalu melahap roti yang kuberikan.
“Pelan-pelan.” Seruku
“Kamu darimana?” Tanyaku
“Dari Bandung. Mau cari kerja.” Sahutnya
enteng dengan mulut penuh roti
“Subhanallah, Bandung? Jauh sekali. Kamu
kesini dengan siapa? Sendiri?”
Ia mengangguk.
Sendirian, dikota
sebesar dan sekeras ini. Anak sekecil ini. Bagaimana dengan Ayah Ibunya.
Sekolahnya. Sebuah ide brilian tiba-tiba muncul di kepalaku.
“Kamu, ikut kakak yuk. Kakak kenalin
sama teman-teman baru kamu.” Seruku
Anak itu menatapku
dengan sendu.
“Ayo, kakak bukan orang jahat kok.”
Akhirnya, anggukan
kecil menjawab permintaanku. Aku gandeng tangan kecilnya. Sepanjang perjalanan aku menanyainya dengan berbagai pertanyaan.
“Namamu siapa?”
“Yusuf.” serunya
“Yusuf, Ayah dan Ibumu, bagaimana?”
“Aku yatim piatu, kak.” Sahut Yusuf
padaku
“Oh, begitu. Terus keluarga di Bandung?”
Yusuf menggeleng.
“Semenjak Ayah dan Ibu meninggal, aku
tinggal sendiri, kak.”
“Oh, begitu. Terus kalau kakak boleh
tahu, cita-cita kamu apa?”
“Keliling dunia. Pakai ini....kak.”
serunya sambil menunjuk pelipisnya
“Aku ingin kerja terus belajar sampai
lulus kuliah, terus keliling dunia.” Yusuf tersenyum simpul.
“Kenapa ke Eropa?” tanyaku.
“Kata bu guru, di Eropa itu banyak
seniman dan pelukis terkenal, kak. Dan aku akan belajar disana. Sebagai
perwakilan dari Indonesia. Yang akan mengharumkan nama Indonesia dengan hasil
karyaku. Aku ingin melihat karya-karya Leonardo Da Vinci, Picasso, Monet, dan
semua hasil karya pelukis-pelukis keren didunia secara langsung. Bukan dari
internet, bukan dari televisi, bukan dari buku.”
Subhanaallah. Jawaban
yang luar biasa dari seorang anak berumur 10 tahun. Memang terdengar mustahil
bagi sebagian orang. Tapi bagi anak seumur dia. Hal paling indah adalah bermimpi
dan berusaha untuk menggapai mimpinya. Semoga Allah mendengar dan menjawab
semua impiannya.
“Setelah itu, apa lagi?” Tanyaku lagi
“Em.. aku mau seperti kakak.” Sahutnya
Aku tersenyum serasa
mengeryitkan dahi.
“Seperti aku? Kenapa?”
“Iya, seperti kakak yang ikhlas menolong
orang lain tanpa pamrih. Walaupun hanya sebuah roti dan sekotak susu. Kakak
rela menahan rasa lapar kakak demi menolong orang sepertiku. Aku ingin
melakukan hal yang kecil tapi manfaatnya besar. Suatu saat nanti, aku akan
menemui kakak dan membalas apa yang kakak lakukan saat ini.” Jawabnya
Sampailah kami disebuah
panti asuhan. Tempat yang dulunya bangunan tua yang tidak terawat dan nyaris
dirubuhkan. Namun, karena permintaan warga yang ingin menjaga kelestarian
budaya hal itu dibatalkan.
“Nah, Yusuf. Ini tempat baru kamu
sekarang, suka?”
Yusuf mengangguk
senang.
“Terima kasih, kakak cantik.” Serunya
“Yusuf, mulai sekarang. Kamu gak perlu
kerja. Tugas kamu satu. Belajar. Dan jangan lupa, berdoa. . Jangan lupa juga,
doakan Ayah dan Ibu kamu, ya.”
Aku berpaling dan
melangkah pergi.
“Kalau
kakak, cita-citamu apa?” Teriak Yusuf.
Aku berbalik memandang
Yusuf.
“Eng... cita-cita kakak. Kakak mau
jadi... jadi apa ya?” Sahutku dengan terbata.
Sekilas pertanyaan seperti ini mudah
untuk dijawab. Namun, jika dibandingkan dengan uraian Yusuf sebelumnya,
cita-citaku sama sekali tidak beralasan. Cita-citaku menjadi seorang sarjana. Cukup
sampai disitu.
Kata-kata Yusuf
terngiang dikepalaku sampai hari ini. Berputar tidak bisa diam.
Sebulan kemudian, aku
mendapat kabar bahwa Yusuf diadopsi. Menurut profilnya Ayah dan Ibu angkat Yusuf
adalah pengusaha sukses yang dalam sehari dapat berpindah tempat dari satu
negara kenegara lainnya. Maha Besar Allah dengan segala rencana-Nya.
“Ada benarnya juga..” gumamku seraya
memandangi peta dunia yang kupajang didinding kamarku.
“Haruskah.... aku juga?”
Aku beranjak dari
bangkuku. Mengambil laptop dan membuka sebuah laman.
Saatnya berdebat dengan
orang tuaku. Ayah dan Ibu membiasakan cara seperti ini semenjak aku kecil.
Terbukti, hal seperti ini lebih efektif. Statusku sebagai anak tunggal
dikeluarga ini membuat mediasi berlangsung berbelit-belit. Akhirnya, doa restu
pun sudah terkantongi. Saatnya untuk menjalankan apa yang akan menjadi catatan
hidup bagi seorang Fatimah. Tempatku 3 sampai 4 tahun kedepan adalah Mesir.
Dunia saksikanlah aku.
---------------------------Mesir-------------------------------
Tas gendongku serasa
semakin berat. Koperku pun semakin berat kuseret. Sedari tadi tenggorokanku
berteriak meminta air. Saat menonton film Ayat-ayat Cinta, tak terbesit tentang
betapa panasnya daerah gurun. Segar rasanya dimana Maria memberikan sebotol jus
kepada Fahri melalui jendela kamarnya. Aku ingin merasakan hal yang sama. Adakah
seseorang yang akan memberikanku sebotol jus segar? Tapi, sedari tadi aku
memutar kepala di sekelilingiku tidak kujumpai satu pun jendela yang terbuka.
Ada satu itu pun jendela dari seorang pedagang roti. Panasnya ternyata rasanya dua
kali lebih panas dari Jakarta. Hanya mungkin bedanya, tak ada banjir dan tak
mungkin ada kemacetan lalu lintas ditempat seperti ini.
Akhirnya, kakiku
berhenti didepan sebuah pintu kayu. Tanganku kubenturkan kepintu, mengetuk tiga
kali. Sesaat kemudian, seorang wanita menyembul dari balik pintu yang terbuka.
Senyumnya langsung menyimpul seakan kata sambutan untukku.
“Assalamu’alaikum, Ukhti.” Sapaku pada
seorang perempuan yang akan menjadi teman satu kamar denganku. Syifa. Dia
berasal dari Surabaya. SMA-nya lulusan pondok pesantren ternama. Sudah satu
tahun dia disini. Tentulah pengalamannya lebih banyak dariku.
“Wa’alaikumsalam. Fatimah, ya? Subhanallah,
saudariku sudah sampai. Bagaimana? Perjalannya lancarkan?” tanyanya sembari
mengangkat satu koper bawaanku masuk.
“Alhamdulillah, lancar. Cuman agak
sedikit gak enak badan. Jet Lag.”
“Oh. Itu biasa. Jakarta – Mesir ‘kan
jauh. Ayo masuk. Sudah ditunggu saudarimu yang lain. Langsung kuantar kekamar
atau mau duduk disini dulu?”
“Eng.. langsung kamar saja, Ukh. Aku
capek.”
“Yakin? Gak mau minum-minum dulu? Ukhti baru
buat jus jeruk tuh, ada di kulkas.” Serunya sambil menunjuk sebuah benda besar
dipojok ruangan.
Aku menyeringai. Alhamdulillah, batinku.
“Loh, kenapa? Kok ketawa?”
“Gak, Ukh. Ukhti, saya mau minum dulu. Ukthi
duluan saja. Nanti aku bisa sendiri.”
“Ya sudah, minum dulu sana.” Ukhti Syifa
menaiki tangga kayu.
Aku meneguk segelas jus dingin. “Alhamdulillah.
Ini baru permulaan Ya Allah. Bantu hamba bertahan ditempat ini.”
Dan hari selanjutnya, aku memaluinya
dengan niat tulus dan ikhlas.
-----------------------3 tahun
kemudian----------------------------
Alhamdulillah.
Hari demi hari berlalu.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa sudah hampir 3 tahun aku mengelana di
negeri ini. Udara panasnya sudah bersahabat denganku. Meskipun terkadang bekas
sengatannya masih membuatku tidak nyaman. Aku lebih suka menghabiskan waktu
didalam ruangan. Hidup bersama orang yang bernasib sama, diperantauan.
2 bulan yang lalu, aku
mendapat kabar dari panti asuhan di Indonesia. Yusuf, anak tunawisma yang
kutemui di depan masjid kala itu. Kini ia sedang berada di Paris. Keluarga
angkatnya memutuskan menetap disana. Allah telah menjawab do’a dan harapannya. Yusuf,
aku bangga padamu.
Tingkat semesterku
hampir mencapai masa akhir. Namun, kesibukan lain tetap mengalir bagai pasir
gurun diatas bukit, tak pernah habis dan berhenti. Tahun ini aku disibukkan
dengan menjadi relawan dikedutaan besar Indonesia. Keadaan Mesir saat ini
sedang kritis. Beberapa pihak tak mau mengalah pada pendapatnya. Sampai-sampai
kudeta besar-besaran terjadi dibeberapa titik di kota Mesir. Mesir kacau. Inilah
momentum puncak dari cerita hidup seorang Fatimah.
Nasib perantauan
seperti kami. Kacau. Sebisa mungkin kami mengumpulkan beberapa teman yang
terpisah dari kelompoknya. Sebisa mungkin tetap berhubungan satu sama lain.
Menunggu situasi normal kembali dan bertahan selama mungkin. Kami sibuk dengan
membantu beberapa orang yang menjadi korban. Meskipun niat kami baik namun kami
harus tetap berada di kondisi netral.
“Ukhti, gawat!!” Seru Farah. Temanku
yang lain, satu tingkat dibawahku. Raut wajahnya cemas bercampur rasa takut. Ia
berlari kearahku.
“Ada apa?” Tanyaku
“Ada lagi yang tertembak. Parah. Rencananya
mau kami bawa kerumah sakit tapi mobil yang pergi sebelumnya belum kembali.”
“Astagfirullah. Sudah coba kontak dengan
rumah sakit langsung?”
“Sudah, Ukh. Tapi no respon. Apa
lagi Ukhti Syifa dan kawan-kawan belum kembali.” Seru Farah dengan nada
bergetar.
Aku meraih tangan Farah. “Mereka
baik-baik saja. Tenanglah. Allah bersama kita.”
“Ukhti Fatimah!!” Pekik yang lain. Kali
ini dengan membawa seorang anak kecil.
“Patah tulang, Ukh. Aku lihat dia jatuh
dari lantai 3.”
“Sini, aku bantu. Panggil dokternya.”
Aku membaringkan anak
itu. Memeriksa apakah ada luka serius yang lain. Hingga dokter datang.
“Patah tulangnya serius. Ia harus
dievakuasi ke rumah sakit sekarang.” Seru dokter
“Tapi, mobilnya ambulannya belum datang,
dok. Bagaimana, Ukh?” Farah menggoyangkan lenganku.
“Sabar dulu.. sabar.. kita pikirkan cara
lain.” Aku berjalan menatap situasi luar dari jendela. Asap mengepul
dimana-mana. Orang-orang berlarian kesana kemari.
Malam tiba. Mesir
semakin mencekam. Dan aku masih tersiksa dengan isakan tangis dan rintihan para
korban di ruangan ini. Sebagian dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Sebagian dari mereka membutuhkan pengobatan segera. Tidak ada hal lain yang
lebih menyiksa dalam kegiatanku sebagai relawan selain mendengar jeritan dan tangisan
dari para korban. Ya Rabb, kuatkan hamba-Mu. Aku mendekati jendela yang sama.
Kuusap kaca yang mengembun. Tiba-tiba sebuah kalimat terngiang dipikiranku.
Kalimat yang pernah terucap dari bibir seorang anak kecil. “Aku mau seperti
kakak. Yang ikhlas menolong orang lain. Meskipun hanya suatu hal kecil.”
Aku mengumpulkan
beberapa keberanian. Mataku terpusat pada sebuah mobil van diluar sana.
Pintunya terbuka begitu saja. Ya, aku siap. Batinku.
Dengan keberanian yang
menumpuk dikepalaku. Aku berlari keluar gedung. Menerobos keramaian dan asap
pedas yang masuk ke mataku. Secepat mungkin aku terus berlari. Terus berlari.
Hingga aku sampai dimobil van yang kuincar dengan cepat aku masuk dan
menghidupkan mesin mobil. Dan dengan mobil itu aku kembali ke gedung.
“Semuanya naik!!!” Pekikku pada yang
lain. Aku turun dan membantu para korban satu demi satu masuk ke mobil.
“Argh!!!” Teriakan keluar dari mulutku.
Dalam sesaat sebuah benda panas masuk ketubuhku. Sakitnya menjalar keseluruh
tubuhku.
“Ukhti?” Tanya Farah dengan nada
khawatir seraya menahan tubuhku yang mulai lemas.
“Sudah jangan pikirkan aku. Aku tidak
apa-apa.” Lirihku
“Astagfirullah, Ukthi, lenganmu. Ukhti Fatimah
juga ikut ke rumah sakit. Ayo.”
“Aku tidak apa-apa, Farah. Ini hanya
luka kecil. Nanti aku obati didalam. Kasian anak-anak itu. Mereka lebih
penting.” Aku tersenyum menyakinkannya.
Aku masuk ke gedung itu
lagi. Duduk menenangkan diri. Jantungku berdegup cepat. Jadi ini yang dirasakan
Ukhti Syifa kala itu. Seminggu yang lalu ia nyaris saja tertembak karena ingin
menolong seorang mahasiswi Amerika yang terluka. Pelipisnya terluka saat itu.
Dan saat kutanya bagaimana keadaanya. Dia hanya menjawab.
“Ini adalah tanda dari kekuasaan Allah,
Ukh.” Sambil menunjuk bekas jahitan pada pelipisnya.
Beberapa saat kemudian
suara berisik datang dari depan. Segerombolan tentara PBB masuk kedalam gedung.
Beberapa mahasiswi berteriak histeris sambil menyerukan asma Allah.
“Allahuakbar.. Allahuakbar..” seru
mereka
Apa ada yang terluka
lagi?
Dengan separuh kekuatan
aku bangkit mendekat kekeramaian. Melihat dengan mata kepalaku sendiri. Seorang
wanita terbaring kaku dengan darah di sekujur tubuhnya. Wajahnya ditutup kain
putih. Namun yang mengusik pandanganku adalah pakaian itu dan juga jilbab itu.
Tak asing di mataku. Itu semua yang selalu dikenakan oleh.... oleh Ukhti Syifa.
Rasa penasaran
menarikku untuk menurunkan tanganku turun dan mulai meraih kain penutup.
Membukanya dan melihat seraut wajah yang tak asing bagiku.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.” Rintihku
pelan
Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Berharap ia akan terbangun dan kembali.
“Ukhti!! Ukhti Syifa!! Ukhti!!”
Saat-saat bersama serta
kenanganku bersamanya terkenang kembali. Bagaimana awal pertemuan kami. Dan
bagaimana kami berdua berjuang disini. Syifa adalah seorang wanita luar biasa
dimataku.
“Saudariku, Fatimah. Sebagai
hamba-Nya ada satu hal yang perlu kita ingat. Kita terlahir dan hidup sebagai
makhluk sosial. Apa gunanya hidup sebagai muslim jika kita tak pernah membantu
orang lain.”
Aku ambruk disamping
jenazahnya. Air mataku mengalir tanpa henti. Rasa sakit lukaku tak seberapa
sakit dari apa yang dirasakan hatiku. Hatiku sakit.
Bau mesiu masih
tercium. Meskipun saat ini aku sudah tidak berada diluar sana. Dentuman dan
teriakan pun masih terdengar walaupun samar. Para tentara dan petugas medis
mulai berdatangan. Aku bisa bernafas sedikit sekarang.
Tak bisa disembunyikan.
Rasa ngilu pada lengan kiriku mulai terasa sekarang. Rasa sakit yang kutahan
beberapa jam yang lalu. Menurut diagnosaku sendiri, aku mengalami pendarahan.
Jika tidak diatasi secepatnya, besar kemungkinan hari ini adalah hari
terakhirku melihat dunia.
Aku mencoba mengeluarkan
suara.
Akhirnya dengan
kekuatan terakhirku.
“Help me.” Lirihku pada seorang
tentara yang berdiri membelakangiku.
Dia berbalik dan
mengamatiku dengan sesama. Melihat lengan bajuku dan jilbab yang kukenakan merah
merona dengan darah segar yang terus keluar tanpa henti. Aku memang punya masalah
dengan pembekuan darah.
“Are you okay?” tanyanya.
Melihat rona wajahku
yang sama seperti orang mati membuatnya tahu apa yang harus ia lakukan. Dan aku
pun jatuh. Jatuh tergeletak begitu saja diatas lantai seperti daging yang
kehilangan tulang sebagai penyangganya.
Aku membuka mataku. Aku
masih merasakan pusing. Entah sejak kapan, jarum infus tertancap dilenganku. Aku
masih disini. Ditempat ini. Dikota ini. Disituasi ini.
“Aku baru tahu kalau Anda orang Indonesia.”
Suara seseorang membuyarkan lamunanku.
Seorang tentara
menghampiriku. Aku masih ingat dengan wajah itu. Dialah pria yang terakhir kali
kutemui yang membantuku sebelum aku pingsan. Ia duduk disamping ranjangku.
Tempatku terbaring.
“Operasi
berjalan lancar. Peluru dan serpihannya sudah diangkat. Anda tidak perlu
khawatir.” Tambahnya lagi.
Aku membalasnya dengan senyuman.
Tentara itu mengambil
sebuah papan teli dan pulpen dari atas meja.
“Pemerintah Indonesia menginstruksikan
kepada semua warga untuk pulang ketanah air dan kembali lagi jika keadaan sudah
kondusif. Untuk itu saya harus mendata Anda. Bisakah Anda menjawab beberapa
pertanyaan?”
Aku mengangguk pelan.
“Sebutkan nama Anda?”
“Fatimah. Fatimah Azahra.” Jawabku
“Asal?”
“Jakarta.”
“Apa yang Anda lakukan disini?” Tanyanya
lagi.
“Saya kuliah.”
“Sulit dipercaya bukan, tapi memang
inilah yang terjadi. Altar pendidikan dunia Islam terbaik seperti Mesir bisa
seperti ini. Tidak ada tempat yang lebih baik selain dirumah.”
Perang belum sepenuhnya
berhenti bergejolak. Pihak oposisi dan pemerintah masih kekeuh dengan keputusan
awal mereka. Kami memutuskan untuk membawa pulang jenazah para sahabat ketanah
Indonesia. Setidaknya itu hal terakhir yang bisa kami lakukan. Sebagai bentuk
penghormatan dan terima kasih atas jasa mereka selama ini.
Menjadi mahasiswa
dinegeri konflik adalah sebuah pilihan dalam hidup. Tapi, menjadi mahasiswa
dinegeri sendiri bukanlah hal buruk. Aku pulang ke Indonesia meninggalkan Mesir
dan hiruk pikuknya. Bukan karena aku menyerah terhadap situasi. Atau karena aku
takut akan panasnya timah. Ayah dan Ibu, merekalah satu alasanku. Sudah cukup
rasanya bagiku berdiri jauh dari mereka, sudah saatnya aku melakukan
kewajibanku yang terabaikan. Soal ilmu dan pengalaman hidup, aku bisa
mencarinya dimana saja.
Sekian ceritaku.
Wassalamu’alaikum.
Komentar
Posting Komentar